Sejak PSSI berdiri, banyak kisah yang telah ditorehkan. Menginjak usia
yang ke-84 tahun pada hari ini, banyak harapan yang dibebankan kepada
organisasi tersebut untuk masa depan.
PSSI telah menginjak usia yang ke-84 tahun pada hari ini. Telah banyak kisah yang ditorehkan oleh induk organisasi sepakbola di Indonesia itu. Mulai dari torehan prestasi hingga polemik organisasi. Perjalanan awal berdirinya organisasi yang berada di bawah naungan FIFA itu juga penuh liku.
Mulai dari masuknya sepakbola ke Indonesia, hingga adanya peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 yang disebut sebagai titik balik bagi persepakbolaan kelompok pribumi. Dengan semangat kebangsaan yang tinggi, digagas kembali keinginan untuk membentuk sebuah wadah persatuan klub-klub sepakbola pribumi. Semangat kebangsaan dari deklarasi tersebut menjiwai seluruh kalangan termasuk di kalangan pegiat sepakbola.
Hingga pada puncaknya di Yogyakarta, 19 April 1930, dipelopori oleh tujuh klub yaitu PSIM, PPSM, Voetbal Indonesia Jacarta (VIJ), Soerabajasche Indonesia Voetbal Bond (SIVB), Vorstenlanden Voetbal Bond (VVB), Bandoengsche Voetbal Bond (BVB), dan Madioensche Voetbal Bond (MVB), didirikanlah PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) sebagai wadah persatuan klub sepakbola pribumi.
Sebenarnya, ada tiga nama yang diusulkan untuk wadah persatuan itu, yakni INVB, PVBSI, dan PSSI. Namun berdasarkan keputusan bersama dipilihlah PSSI untuk organisasi tersebut.
Istilah sepakraga sebenarnya merujuk pada permainan kuno yang dimainkan oleh masyarakat kawasan Asia Tenggara terutama kawasan Sulawesi, Maluku, Vietnam bagian Selatan, serta Fillipina. Permainan tersebut menggunakan bola yang terbuat dari anyaman rotan. Bola rotan tersebut kemudian oleh sekelompok orang yang membentuk posisi melingkar dan dengan menggunakan kakinya mereka berusaha mempertahankan bola agar tetap berada di udara.
Di samping itu, istilah sepakraga ini dipilih oleh para anggota PSSI untuk mempertegas perlawanan terhadap NIVB. Dengan memilih menggunakan istilah lokal tentu akan lebih mudah dalam mengobarkan heroisme para anggota mereka.
Selain itu, mereka juga memilih kepengurusan PSSI yang pertama. Dan ditunjuklah Ir. Soeratin sebagai Ketua PSSI yang pertama. Ada pula Moh. Amir sebagai sekretaris, Abdoelhamid (bendahara), dan anggota lain yang berasal dari perwakilan masing-masing klub anggota. Mulai 1931, PSSI melakukan kompetisi secara rutin setiap tahunnya. Selanjutnya, PSSI hanya memperbolehkan bahasa Indonesia sebagai bahasa organisasi. Untuk bertahan, PSSI menarik iuran dari anggotan setiap bulan. Aturan tersebut ditetapkan melalui Kongres PSSI kedua pada 14-16 Mei 1932.
Dalam perjalanannya, PSSI dan NIVB sebenarnya tidak selalu bermusuhan. Ada saatnya kedua organisasi ini mencoba untuk melakukan kerja sama. Salah satu bukti yang bisa menunjukkan adanya kerja sama di antara kedua kubu adalah lewat ditandatanganinya gentlement agreement pada 1937.
Ketika itu, NIVB mengalami reorganisasi dengan mengubah namanya menjadi Netherland Indie Voetbal Unie (NIVU). Pemimpin NIVU, Mastenbroek, pada awal pembentukan NIVU sangat kooperatif dengan para petinggi PSSI. Di antara kesepakatan tersebut adalah pengakuan atas kedua organisasi oleh pimpinan masing-masing serta pembentukan tim bersama untuk melawan tim dari luar negeri.
Petaka datang ketika hajatan paling akbar pentas sepak bola dunia bertajuk Piala Dunia 1938 Perancis akan digelar. PSSI maupun NIVU gagal mencapai kesepakatan tentang komposisi pemain terbaik yang akan mewakili undangan dari FIFA itu. Sebelumnya, sebagian kalangan pergerakan nasional juga mulai menganggap PSSI kurang nasionalis karena bersedia bekerja sama dengan dengan NIVU.
Akhirnya, Ir. Soeratin dan kawan-kawan memutuskan untuk menghentikan berlakunya gentlement agreement. Artinya, PSSI tidak berpartisipasi dalam pengiriman pemain ke Piala Dunia 1938 dan NIVU sepenuhnya mengambil alih persiapan tim yang akan mewakili Hindia Belanda atau Indonesia dengan menggunakan nama Dutch East Indies.
Meski PSSI tidak berpatisipasi dalam pengiriman tim ke Piala Dunia 1938, setidaknya ada beberapa pemain pribumi yang turut serta merasakan atmosfer Piala Dunia kala itu. Di antara deretan pemain kelompok Eropa dan Tionghoa dalam tim nasional Dutch East Indies terdapat nama Dr. Nawir, Sutan Anwar, Issac Pattiwel, Darmadji, Frans Pede Hukon, Hans Taihutu yang memiliki darah lokal.
Bahkan, pada saat itu Dr Nawir dipercaya menjadi kapten tim. Pemain asli Surabaya ini berposisi sebagai pemain belakang. Selama berkarier di sepakbola Dr. Nawir setia membela klub Soerabajasche Voetbal Bond.
Semenjak berdiri, PSSI secara resmi dan berkesinambungan telah memutar roda kompetisi yang diikuti oleh anggotanya. Pada masa itu, kompetisi yang digulirkan PSSI menggunakan sisten turnamen. Dengan salah satu peserta kompetisi menjadi tuan rumah. Kendala hebat yang melanda PSSI adalah ketiadaan stadion yang representatif untuk menyelenggarakan pertandingan. Kemudian, atas kebaikan hati Sri Susuhunan Pakubuwana X dibangunlah sebuah stadion yang dilengkapi fasilitas tribun penonton dan penerangan di Solo.
Stadion tersebut adalah Stadion Sriwedari. Stadion inilah yeng menjadi saksi bagaimana ketatnya persaingan untuk menjadi juara kompetisi pertama PSSI yang kemudian memunculkan VIJ sebagai juaranya. Kompetisi inilah yang kelak menjadi embrio Liga Perserikatan yang berjalan hingga musim kompetisi 1993-1994.
Kompetisi ini sempat terhenti pada kurun waktu 1945 hingga 1949 karena kondisi bangsa Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Kompetisi baru terlaksana kembali ketika memasuki musim kompetisi 1950 dan memunculkan Persib Bandung sebagai juara.
Era 1950-an bisa dibilang sebagai salah satu masa puncak pencapaian prestasi sepakbola Indonesia. Berbagai prestasi gemilang di kancah internasional ditorehkan tim Garuda. Pertama, kesuksesan menembus babak perempat-final Olimpiade 1956 yang diselenggarakan di Melbourne, salah satu ajang multi negara yang cukup bergengsi selain Piala Dunia. Kedua, membawa pulang medali perunggu Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang.
Asian Games adalah event olahraga terbesar yang diselenggarakan oleh negara-negara di kawasan Asia. Saat itu, timnas dilatih pelatih asal Yogoslavia, Toni Pogacnik. Indonesia menjelma sebagai kekuatan baru di kancah sepakbola Asia. Bahkan, publik menjuluki Ramang dan kawan-kawan sebagai Macan Asia.
Setelah itu, kompetisi Perserikatan juga sempat mengalami polemik. Kejadian unik sekaligus memalukan terjadi pada kompetisi Perserikatan musim kompetisi 1975, di mana Persija Jakarta dan PSMS Medan keluar sebagai juara bersama. Keputusan tersebut terjadi setelah pemain kedua kubu terlibat perselisihan di atas lapangan. Akibatnya, kepemimpinan wasit tak dihiraukan lagi oleh kedua kubu yang bertanding.
Akhirnya, Ketua Umum PSSI saat itu, Badarsono, menetapkan kedua tim sebagai juara bersama. Ketika pertandingan dihentikan pada menit ke-40 kedudukan sedang imbang 1-1. Gol yang dicetak oleh Parlin Siagian dimenit kesepuluh sempat membungkam para pendukung Persija yang memadati Stadion Senayan. Persija kemudian menyamakan kedudukan lewat pemain jempolan mereka Sofyan Hadi pada menit ke-26.
Kini, PSSI secara perlahan sudah mulai mencoba untuk merangkak naik kembali dari sisi prestasi.
Itu setelah, dalam empat tahun terakhir selalu dirundung konflik organisasi. Semoga apa yang direncanakan tidak hanya sekadar di atas kertas. Dan seluruh pemangku kepentingan sepakbola di Indonesia tidak pernah lupa akan arti dan tujuan didirikannya PSSI, yakni sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa.
Pada usia yang sudah menginjak 84 tahun ini banyak harapan yang dibebankan kepada PSSI agar cerita prestasi yang dihasilkan melalui timnas maupun kompetisi yang mereka kelola, tidak hanya didapatkan dari rangkaian sejarah masa lalu. Tapi bisa menghasilkan prestasi demi prestasi yang baru secara berkesinambungan di masa depan. Sekali lagi selamat ulang tahun PSSI! (gk-57)
PSSI telah menginjak usia yang ke-84 tahun pada hari ini. Telah banyak kisah yang ditorehkan oleh induk organisasi sepakbola di Indonesia itu. Mulai dari torehan prestasi hingga polemik organisasi. Perjalanan awal berdirinya organisasi yang berada di bawah naungan FIFA itu juga penuh liku.
Mulai dari masuknya sepakbola ke Indonesia, hingga adanya peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928 yang disebut sebagai titik balik bagi persepakbolaan kelompok pribumi. Dengan semangat kebangsaan yang tinggi, digagas kembali keinginan untuk membentuk sebuah wadah persatuan klub-klub sepakbola pribumi. Semangat kebangsaan dari deklarasi tersebut menjiwai seluruh kalangan termasuk di kalangan pegiat sepakbola.
Hingga pada puncaknya di Yogyakarta, 19 April 1930, dipelopori oleh tujuh klub yaitu PSIM, PPSM, Voetbal Indonesia Jacarta (VIJ), Soerabajasche Indonesia Voetbal Bond (SIVB), Vorstenlanden Voetbal Bond (VVB), Bandoengsche Voetbal Bond (BVB), dan Madioensche Voetbal Bond (MVB), didirikanlah PSSI (Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia) sebagai wadah persatuan klub sepakbola pribumi.
Sebenarnya, ada tiga nama yang diusulkan untuk wadah persatuan itu, yakni INVB, PVBSI, dan PSSI. Namun berdasarkan keputusan bersama dipilihlah PSSI untuk organisasi tersebut.
Istilah sepakraga sebenarnya merujuk pada permainan kuno yang dimainkan oleh masyarakat kawasan Asia Tenggara terutama kawasan Sulawesi, Maluku, Vietnam bagian Selatan, serta Fillipina. Permainan tersebut menggunakan bola yang terbuat dari anyaman rotan. Bola rotan tersebut kemudian oleh sekelompok orang yang membentuk posisi melingkar dan dengan menggunakan kakinya mereka berusaha mempertahankan bola agar tetap berada di udara.
Di samping itu, istilah sepakraga ini dipilih oleh para anggota PSSI untuk mempertegas perlawanan terhadap NIVB. Dengan memilih menggunakan istilah lokal tentu akan lebih mudah dalam mengobarkan heroisme para anggota mereka.
Selain itu, mereka juga memilih kepengurusan PSSI yang pertama. Dan ditunjuklah Ir. Soeratin sebagai Ketua PSSI yang pertama. Ada pula Moh. Amir sebagai sekretaris, Abdoelhamid (bendahara), dan anggota lain yang berasal dari perwakilan masing-masing klub anggota. Mulai 1931, PSSI melakukan kompetisi secara rutin setiap tahunnya. Selanjutnya, PSSI hanya memperbolehkan bahasa Indonesia sebagai bahasa organisasi. Untuk bertahan, PSSI menarik iuran dari anggotan setiap bulan. Aturan tersebut ditetapkan melalui Kongres PSSI kedua pada 14-16 Mei 1932.
Dalam perjalanannya, PSSI dan NIVB sebenarnya tidak selalu bermusuhan. Ada saatnya kedua organisasi ini mencoba untuk melakukan kerja sama. Salah satu bukti yang bisa menunjukkan adanya kerja sama di antara kedua kubu adalah lewat ditandatanganinya gentlement agreement pada 1937.
Ketika itu, NIVB mengalami reorganisasi dengan mengubah namanya menjadi Netherland Indie Voetbal Unie (NIVU). Pemimpin NIVU, Mastenbroek, pada awal pembentukan NIVU sangat kooperatif dengan para petinggi PSSI. Di antara kesepakatan tersebut adalah pengakuan atas kedua organisasi oleh pimpinan masing-masing serta pembentukan tim bersama untuk melawan tim dari luar negeri.
Petaka datang ketika hajatan paling akbar pentas sepak bola dunia bertajuk Piala Dunia 1938 Perancis akan digelar. PSSI maupun NIVU gagal mencapai kesepakatan tentang komposisi pemain terbaik yang akan mewakili undangan dari FIFA itu. Sebelumnya, sebagian kalangan pergerakan nasional juga mulai menganggap PSSI kurang nasionalis karena bersedia bekerja sama dengan dengan NIVU.
Akhirnya, Ir. Soeratin dan kawan-kawan memutuskan untuk menghentikan berlakunya gentlement agreement. Artinya, PSSI tidak berpartisipasi dalam pengiriman pemain ke Piala Dunia 1938 dan NIVU sepenuhnya mengambil alih persiapan tim yang akan mewakili Hindia Belanda atau Indonesia dengan menggunakan nama Dutch East Indies.
Meski PSSI tidak berpatisipasi dalam pengiriman tim ke Piala Dunia 1938, setidaknya ada beberapa pemain pribumi yang turut serta merasakan atmosfer Piala Dunia kala itu. Di antara deretan pemain kelompok Eropa dan Tionghoa dalam tim nasional Dutch East Indies terdapat nama Dr. Nawir, Sutan Anwar, Issac Pattiwel, Darmadji, Frans Pede Hukon, Hans Taihutu yang memiliki darah lokal.
Bahkan, pada saat itu Dr Nawir dipercaya menjadi kapten tim. Pemain asli Surabaya ini berposisi sebagai pemain belakang. Selama berkarier di sepakbola Dr. Nawir setia membela klub Soerabajasche Voetbal Bond.
Semenjak berdiri, PSSI secara resmi dan berkesinambungan telah memutar roda kompetisi yang diikuti oleh anggotanya. Pada masa itu, kompetisi yang digulirkan PSSI menggunakan sisten turnamen. Dengan salah satu peserta kompetisi menjadi tuan rumah. Kendala hebat yang melanda PSSI adalah ketiadaan stadion yang representatif untuk menyelenggarakan pertandingan. Kemudian, atas kebaikan hati Sri Susuhunan Pakubuwana X dibangunlah sebuah stadion yang dilengkapi fasilitas tribun penonton dan penerangan di Solo.
Stadion tersebut adalah Stadion Sriwedari. Stadion inilah yeng menjadi saksi bagaimana ketatnya persaingan untuk menjadi juara kompetisi pertama PSSI yang kemudian memunculkan VIJ sebagai juaranya. Kompetisi inilah yang kelak menjadi embrio Liga Perserikatan yang berjalan hingga musim kompetisi 1993-1994.
Kompetisi ini sempat terhenti pada kurun waktu 1945 hingga 1949 karena kondisi bangsa Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Kompetisi baru terlaksana kembali ketika memasuki musim kompetisi 1950 dan memunculkan Persib Bandung sebagai juara.
Era 1950-an bisa dibilang sebagai salah satu masa puncak pencapaian prestasi sepakbola Indonesia. Berbagai prestasi gemilang di kancah internasional ditorehkan tim Garuda. Pertama, kesuksesan menembus babak perempat-final Olimpiade 1956 yang diselenggarakan di Melbourne, salah satu ajang multi negara yang cukup bergengsi selain Piala Dunia. Kedua, membawa pulang medali perunggu Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang.
Asian Games adalah event olahraga terbesar yang diselenggarakan oleh negara-negara di kawasan Asia. Saat itu, timnas dilatih pelatih asal Yogoslavia, Toni Pogacnik. Indonesia menjelma sebagai kekuatan baru di kancah sepakbola Asia. Bahkan, publik menjuluki Ramang dan kawan-kawan sebagai Macan Asia.
Setelah itu, kompetisi Perserikatan juga sempat mengalami polemik. Kejadian unik sekaligus memalukan terjadi pada kompetisi Perserikatan musim kompetisi 1975, di mana Persija Jakarta dan PSMS Medan keluar sebagai juara bersama. Keputusan tersebut terjadi setelah pemain kedua kubu terlibat perselisihan di atas lapangan. Akibatnya, kepemimpinan wasit tak dihiraukan lagi oleh kedua kubu yang bertanding.
Akhirnya, Ketua Umum PSSI saat itu, Badarsono, menetapkan kedua tim sebagai juara bersama. Ketika pertandingan dihentikan pada menit ke-40 kedudukan sedang imbang 1-1. Gol yang dicetak oleh Parlin Siagian dimenit kesepuluh sempat membungkam para pendukung Persija yang memadati Stadion Senayan. Persija kemudian menyamakan kedudukan lewat pemain jempolan mereka Sofyan Hadi pada menit ke-26.
Kini, PSSI secara perlahan sudah mulai mencoba untuk merangkak naik kembali dari sisi prestasi.
Itu setelah, dalam empat tahun terakhir selalu dirundung konflik organisasi. Semoga apa yang direncanakan tidak hanya sekadar di atas kertas. Dan seluruh pemangku kepentingan sepakbola di Indonesia tidak pernah lupa akan arti dan tujuan didirikannya PSSI, yakni sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa.
Pada usia yang sudah menginjak 84 tahun ini banyak harapan yang dibebankan kepada PSSI agar cerita prestasi yang dihasilkan melalui timnas maupun kompetisi yang mereka kelola, tidak hanya didapatkan dari rangkaian sejarah masa lalu. Tapi bisa menghasilkan prestasi demi prestasi yang baru secara berkesinambungan di masa depan. Sekali lagi selamat ulang tahun PSSI! (gk-57)