JAKARTA - PSSI dan KPSI sepakat memilih jalan keluar
dengan menggelar kongres bersama. Langkah ini diambil setelah pimpinan
kedua kubu bertemu dalam rapat yang digelar oleh Menpora, Roy Suryo,
yang juga melibatkan pihak KOI yang diwakili oleh ketua umumnya, Rita
Subowo, Senin, (18/2).
Terkait wacana tersebut, suporter menilai langkah yang ditempuh kedua kubu dengan jalan kongres sekalipun tidak akan menghasilkan solusi penyelesaian konflik. Opsi kongres tersebut ditanggapi dingin oleh suporter. Dalam kacamata mereka, apa yang akan terjadi di kongres cuma ulangan dari yang sudah-sudah.
"Masih susah. Kalau memang mau (berdamai), dari kemarin-kemarin para petinggi itu sudah ketemu berkali-kali, tapi akhirnya itu-itu juga, begitu-begitu saja," tutur Anwar Sanusi, Sekjen Pasoepati, seperti dikutip dari detiksport, Selasa (19/2).
"Tapi kalau inisiatif Menpora adalah untuk menjembatani, ya mudah-mudahan saja, walaupun saya realistis, akan susah," sambungnya.
Sekretaris Slemania, Daru Supriyono juga menanggapi dengan pesimis terkait wacana tersebut. Secara lebih tegas ia menyatakan bahwa solusi penyelesaikan konflik tak lagi memerlukan wacana.
"Kita pragmatis saja. Kita ini sudah tak butuh wacana, tak butuh kompromi. Kongres ini, apakah ada garansi yang signifikan dan kongkret? Kalau mau jujur, saya yakin kita semua sulit melihat itu. Semua orang sudah paham, masalahnya adalah tidak ada niat baik dan political will dari mereka. Anak SD saja tahu kok," cetusnya.
Begitu juga tanggapan yang diberikan oleh Andi Peci, tokoh kelompok suporter Bonek. "Apapun yang sekarang dikerjakan dua kelompok ini, dalam kacamata suporter, saya yakin konflik akan berlanjut sampai kapanpun. Maka dari itu, apapun yang dilakukan pemerintah termasuk wacana kongres ini, takkan menghasilkan perubahan apapun yang signifikan," timpal aktivis revolusi PSSI tersebut.
Anwar, Daru dan Andie sama-sama berkeyakinan bahwa apa yang akan diagendakan di kongres itu cuma mengulang-ulang apa yang selama ini tak pernah mencapai titik temu. Soal empat poin dari FIFA/AFC itu terbukti tak pernah ada deal.
"Saya menilai Menpora sekarang, yang memang tak punya trek rekor soal sepakbola, situasinya adalah tidak punya bargain apapun. Dalam konteks kongres nanti, menurut saya itu cuma basa-basi, karena kita sudah tahu hasilnya akan seperti apa," lanjut Andie Peci.
"Kalau pemerintah mau serius menangani, mestinya bisa kok dari dulu-dulu termasuk di era Andi Mallarangeng. Dari situ sebenarnya memang terlihat mereka tak punya niat untuk menyelesaikan pokok permasalahkan, padahal punya kapasitas dan kewenangan mutlak. FIFA mau ngomong apa, ini soal negara. Pemerintah mestinya punya perspektif itu," imbuhnya.
PSSI sendiri telah tercatat 11 kali menggelar kongres, dimulai sejak Kongres Sepakbola Nasional di Malang di tahun 2010 hingga saat ini.
Anwar dan Daru meminta pemerintah (Menpora) tidak melupakan dua stakeholder lain yang selama ini dirasa kurang diperhatikan, yaitu pemain dan suporter. Suara dari dua kalangan ini multak sudah harus lebih didengarkan, ketimbang melulu mengakomodir elite.
"Pemain dan suporter itu jadi korban. Kalau bisa, kami diberi peluang untuk bicara, karena kami akan bicara dengan hati nurani, bukan demi kepentingan-kepentingan. Kalau pemerintah cuma mengumpulkan pengurus-pengurus saja, ya mereka cuma bolak-balik saja," tukas mereka.
Terkait wacana tersebut, suporter menilai langkah yang ditempuh kedua kubu dengan jalan kongres sekalipun tidak akan menghasilkan solusi penyelesaian konflik. Opsi kongres tersebut ditanggapi dingin oleh suporter. Dalam kacamata mereka, apa yang akan terjadi di kongres cuma ulangan dari yang sudah-sudah.
"Masih susah. Kalau memang mau (berdamai), dari kemarin-kemarin para petinggi itu sudah ketemu berkali-kali, tapi akhirnya itu-itu juga, begitu-begitu saja," tutur Anwar Sanusi, Sekjen Pasoepati, seperti dikutip dari detiksport, Selasa (19/2).
"Tapi kalau inisiatif Menpora adalah untuk menjembatani, ya mudah-mudahan saja, walaupun saya realistis, akan susah," sambungnya.
Sekretaris Slemania, Daru Supriyono juga menanggapi dengan pesimis terkait wacana tersebut. Secara lebih tegas ia menyatakan bahwa solusi penyelesaikan konflik tak lagi memerlukan wacana.
"Kita pragmatis saja. Kita ini sudah tak butuh wacana, tak butuh kompromi. Kongres ini, apakah ada garansi yang signifikan dan kongkret? Kalau mau jujur, saya yakin kita semua sulit melihat itu. Semua orang sudah paham, masalahnya adalah tidak ada niat baik dan political will dari mereka. Anak SD saja tahu kok," cetusnya.
Begitu juga tanggapan yang diberikan oleh Andi Peci, tokoh kelompok suporter Bonek. "Apapun yang sekarang dikerjakan dua kelompok ini, dalam kacamata suporter, saya yakin konflik akan berlanjut sampai kapanpun. Maka dari itu, apapun yang dilakukan pemerintah termasuk wacana kongres ini, takkan menghasilkan perubahan apapun yang signifikan," timpal aktivis revolusi PSSI tersebut.
Anwar, Daru dan Andie sama-sama berkeyakinan bahwa apa yang akan diagendakan di kongres itu cuma mengulang-ulang apa yang selama ini tak pernah mencapai titik temu. Soal empat poin dari FIFA/AFC itu terbukti tak pernah ada deal.
"Saya menilai Menpora sekarang, yang memang tak punya trek rekor soal sepakbola, situasinya adalah tidak punya bargain apapun. Dalam konteks kongres nanti, menurut saya itu cuma basa-basi, karena kita sudah tahu hasilnya akan seperti apa," lanjut Andie Peci.
"Kalau pemerintah mau serius menangani, mestinya bisa kok dari dulu-dulu termasuk di era Andi Mallarangeng. Dari situ sebenarnya memang terlihat mereka tak punya niat untuk menyelesaikan pokok permasalahkan, padahal punya kapasitas dan kewenangan mutlak. FIFA mau ngomong apa, ini soal negara. Pemerintah mestinya punya perspektif itu," imbuhnya.
PSSI sendiri telah tercatat 11 kali menggelar kongres, dimulai sejak Kongres Sepakbola Nasional di Malang di tahun 2010 hingga saat ini.
Anwar dan Daru meminta pemerintah (Menpora) tidak melupakan dua stakeholder lain yang selama ini dirasa kurang diperhatikan, yaitu pemain dan suporter. Suara dari dua kalangan ini multak sudah harus lebih didengarkan, ketimbang melulu mengakomodir elite.
"Pemain dan suporter itu jadi korban. Kalau bisa, kami diberi peluang untuk bicara, karena kami akan bicara dengan hati nurani, bukan demi kepentingan-kepentingan. Kalau pemerintah cuma mengumpulkan pengurus-pengurus saja, ya mereka cuma bolak-balik saja," tukas mereka.