SOLO, MediaSepakbola.com - Belum habis duka sepakbola Indonesia,
ditengah-tengah konflik organisasi yang semakin rumit, satu persatu
pemain menjadi korban “keganasan” konflik sepakbola Indonesia.
Meninggalnya pemain, Bruno Zandonadi seharusnya menjadi pelajaran
berharga bagi pesepakbolaan tanah air. Namun,seakan permasalahan gaji
pemain yang tak dibayar dan berakibat pada merananya nasib pemain hingga
jatuh korban jiwa, hanya dianggap hiasan penambah kusamnya wajah
sepakbola negeri ini.
Kasus meninggalnya pemain Persis Solo, Diego Mendieta karena sakit, karena tak mampu membayar biaya rumah sakit, karena tidak memiliki uang hanya sekedar untuk makan, menunjukan betapa kejamnya perilaku elite sepakbola negeri ini.
Gaji mantan striker Persitara Jakarta Utara dan Persis Solo versi PT LI sebesar Rp 120 juta sejak enam bulan lalu belum masuk rekening Diego Mendieta. Hadiah bonus dari manajemen Persis AllStar dari Batik Cup, juga masih sekedar janji dari manajemen.
Dan akhirnya pemain yang memiliki nama panjang Diego Antonio Mendieta Romero, lahir 13 Juni 1980 menghembuskan napas terakhirnya, akibat derita typus dan lever yang berkepanjangan, akibat virus cytomegalovirus yang menyerang otak dan matanya, dan akibat memikirkan nasibnya yang tak berujung dan tak ada yang siap bertanggungjawab.
Hanya solidaritas dari Pasoepati yang menjadi pemacu semangat hidup sang pemain kala terbaring sakit. Sedangkan para elite klub dan tokoh-tokoh sepakbola baru muncul ketika maut sudah merenggut. Seakan berlomba-lomba menunjukan simpatinya, Walikota, Manajemen klub, Operator Liga hadir disaat semuanya sudah terlambat.
Sebuah peristiwa besar yang seharusnya menjadi pelajaran besar, tetap tidak akan mampu merubah nasib para pemain sepakbola lainnya yang dikemudian hari akan mengalami nasib yang sama dengan Diego.
Sistem yang sudah bobrok sudah terlambat untuk diperbaiki, solusinya hanya dengan merestart ulang system yang berjalan serba amburadul ini. HENTIKAN KOMPETISI atau KITA BOIKOT KOMPETISI!
Tamparan telak ini seharusnya membuat pemerintah tersadar, bahwa sepakbola Indonesia bukanlah tempat yang layak untuk mencari nafkah. Pemerintah harus berani tegas melarang digulirkannya kompetisi melalui tangan BOPI dan POLRI hingga batas waktu yang tidak ditentukan. #Siaga1SepakbolaIndonesia.
Bubarkan APPI, organisasi pemain professional yang tidak mampu memperjuangkan hak pemain. Bubarkan dua operator liga yang menyebabkan dualisme kompetisi. Cekal KPSI sebagai organisasi provokatif yang merayu klub-klub untuk berkonflik. Jika perlu, tegaskan bahwa organisasi ini sebagai organisasi terlarang.
BOPI sebagai induk organisasi olahraga professional, memiliki wewenang penuh menentukan keprofesionalan sebuah klub olahraga. Coret klub-klub yang tidak mampu menyelesaikan semua permasalahan administrasi kepada institusi personal maupun badan. Kerjasama BOPI dan POLRI sangat mutlak dilakukan, mengingat POLRI tidak bisa memberi ijin penyelenggaraan tanpa ada rekomendasi BOPI.
BOPI yang kini menjadi induk organisasi professional, termasuk klub-klub berlabel professional saatnya memberikan tindakan tegas pada dua kompetisi yang mengaku berlabel professional, IPL maupun ISL. Tindak tegas juga manajemen klub beserta agen pemain yang memiliki tanggungjawab langsung terhadap para pemain professional.
Untuk PSSI sebagai federasi resmi sepakbola Indonesia, bertindak tegaslah. Jangan seperti macan ompong yang memelihara kutu-kutu parasit di organisasimu. Terbengkalainya asas-asas profesionalisme organisasi tak lepas dari peran-peran pengurus maupun karyawan PSSI yang miskin pengalaman namun kaya ambisi.
Suporter bergeraklah, satu kata untuk menghentikan laju sepakbola negeri ini yang semakin terperosok dalam jurang kesuraman. Hindari keterlibatan supporter dalam lingkaran manajemen konflik yang sengaja diciptakan oleh elite politik yang menyusup dalam sepakbola. Satu kata, BOIKOT PERTANDINGAN! Hadirlah di Stadion untuk mengelu-elukan klub kebanggan, namun jangan berikan keuntungan sepeserpun untuk manajemen.
“Berdarahkan tuan yang duduk dibelakang meja? atau hanya cukup ucapkan belasungkawa. Aku bosan. Lalu terangkat semua beban dipundak, semudah itukah luka-luka terobati? (1910-iwan fals)“
Penulis
Khoirul Triyana
Kasus meninggalnya pemain Persis Solo, Diego Mendieta karena sakit, karena tak mampu membayar biaya rumah sakit, karena tidak memiliki uang hanya sekedar untuk makan, menunjukan betapa kejamnya perilaku elite sepakbola negeri ini.
Gaji mantan striker Persitara Jakarta Utara dan Persis Solo versi PT LI sebesar Rp 120 juta sejak enam bulan lalu belum masuk rekening Diego Mendieta. Hadiah bonus dari manajemen Persis AllStar dari Batik Cup, juga masih sekedar janji dari manajemen.
Dan akhirnya pemain yang memiliki nama panjang Diego Antonio Mendieta Romero, lahir 13 Juni 1980 menghembuskan napas terakhirnya, akibat derita typus dan lever yang berkepanjangan, akibat virus cytomegalovirus yang menyerang otak dan matanya, dan akibat memikirkan nasibnya yang tak berujung dan tak ada yang siap bertanggungjawab.
Hanya solidaritas dari Pasoepati yang menjadi pemacu semangat hidup sang pemain kala terbaring sakit. Sedangkan para elite klub dan tokoh-tokoh sepakbola baru muncul ketika maut sudah merenggut. Seakan berlomba-lomba menunjukan simpatinya, Walikota, Manajemen klub, Operator Liga hadir disaat semuanya sudah terlambat.
Sebuah peristiwa besar yang seharusnya menjadi pelajaran besar, tetap tidak akan mampu merubah nasib para pemain sepakbola lainnya yang dikemudian hari akan mengalami nasib yang sama dengan Diego.
Sistem yang sudah bobrok sudah terlambat untuk diperbaiki, solusinya hanya dengan merestart ulang system yang berjalan serba amburadul ini. HENTIKAN KOMPETISI atau KITA BOIKOT KOMPETISI!
Tamparan telak ini seharusnya membuat pemerintah tersadar, bahwa sepakbola Indonesia bukanlah tempat yang layak untuk mencari nafkah. Pemerintah harus berani tegas melarang digulirkannya kompetisi melalui tangan BOPI dan POLRI hingga batas waktu yang tidak ditentukan. #Siaga1SepakbolaIndonesia.
Bubarkan APPI, organisasi pemain professional yang tidak mampu memperjuangkan hak pemain. Bubarkan dua operator liga yang menyebabkan dualisme kompetisi. Cekal KPSI sebagai organisasi provokatif yang merayu klub-klub untuk berkonflik. Jika perlu, tegaskan bahwa organisasi ini sebagai organisasi terlarang.
BOPI sebagai induk organisasi olahraga professional, memiliki wewenang penuh menentukan keprofesionalan sebuah klub olahraga. Coret klub-klub yang tidak mampu menyelesaikan semua permasalahan administrasi kepada institusi personal maupun badan. Kerjasama BOPI dan POLRI sangat mutlak dilakukan, mengingat POLRI tidak bisa memberi ijin penyelenggaraan tanpa ada rekomendasi BOPI.
BOPI yang kini menjadi induk organisasi professional, termasuk klub-klub berlabel professional saatnya memberikan tindakan tegas pada dua kompetisi yang mengaku berlabel professional, IPL maupun ISL. Tindak tegas juga manajemen klub beserta agen pemain yang memiliki tanggungjawab langsung terhadap para pemain professional.
Untuk PSSI sebagai federasi resmi sepakbola Indonesia, bertindak tegaslah. Jangan seperti macan ompong yang memelihara kutu-kutu parasit di organisasimu. Terbengkalainya asas-asas profesionalisme organisasi tak lepas dari peran-peran pengurus maupun karyawan PSSI yang miskin pengalaman namun kaya ambisi.
Suporter bergeraklah, satu kata untuk menghentikan laju sepakbola negeri ini yang semakin terperosok dalam jurang kesuraman. Hindari keterlibatan supporter dalam lingkaran manajemen konflik yang sengaja diciptakan oleh elite politik yang menyusup dalam sepakbola. Satu kata, BOIKOT PERTANDINGAN! Hadirlah di Stadion untuk mengelu-elukan klub kebanggan, namun jangan berikan keuntungan sepeserpun untuk manajemen.
“Berdarahkan tuan yang duduk dibelakang meja? atau hanya cukup ucapkan belasungkawa. Aku bosan. Lalu terangkat semua beban dipundak, semudah itukah luka-luka terobati? (1910-iwan fals)“
Penulis
Khoirul Triyana

