Selamat Datang | |


Breaking
    Loading ...

Jumat, 19 April 2013

FOKUS: Terobosan PSSI Dari Masa Ke Masa

By
Updated : Jumat, 19 April 2013 22.30.00


PSSI telah menelurkan program-program yang diharapkan mampu mengangkat kualitas sepakbola nasional, apa saja?


Sejak didirikan pada tahun 19 April 1930, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) memang tidak banyak memberikan prestasi ajang sepakbola internasional. "Prestasi" yang dianggap paling berkesan tentu saja partisipasi Indonesia di Piala Dunia pada 1938, meskipun saat itu masih bernama Hindia Belanda dan tim yang dikirim tidak di bawah bendera PSSI.

Selanjutnya, Indonesia sebenarnya mampu berbicara di level Asia. Pada 1958, timnas Merah Putih sukses merebut medali perunggu di Asian Games. Namun, setelah itu, prestasi Indonesia terus menurun dan semakin tertinggal jauh dengan negara Asia Timur dan Timur Tengah. Praktis, Indonesia hanya menunjukkan taring di level Asia Tenggara.

Meski berstatus sebagai tim raksasa di Asia Tenggara, prestasi Indonesia tidak cukup terlihat. Di ajang Piala AFF, tim Merah Putih bahkan tidak pernah meraih gelar juara, meskipun empat kali menembus babak final (2000, 2002, 2004, 2010).

Beruntung di ajang SEA Games, Indonesia menunjukkan tajinya. Tim Garuda mendapatkan medali emas sebanyak dua kali yaitu pada 1987 dan 1991, medali perak dua kali (1979, 1997) dan medali perunggu tiga kali (1981, 1989, 1999). Prestasi lainnya, didapat dari turnamen lokal baik ketika sebagai tuan rumah (Piala Merdeka) ataupun ketika mendapat undangan dari negara lain (Kings Cup di Thailand dan Pestabola Merdeka di Malaysia).

Meskipun prestasi makin anjlok dan mendapatkan kecaman dari kiri dan kanan terkait perkembangan sepakbola nasional, perjuangan PSSI untuk meningkatkan kualitas sepakbola nasional selama 83 tahun terakhir sebenarnya cukup bervariasi, mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang.

Berikut kebijakan-kebijakan revolusioner PSSI untuk meningkatkan kualitas sepakbola nasional:



GALATAMA

Di bawah kepemimpinan Ali Sadikin, PSSI membentuk Liga Sepakbola Utama (Galatama) pada 1979 untuk disandingkan kompetisi Perserikatan yang telah ada sebelumnya. Perbedaan keduanya adalah kompetisi Perserikatan bersifat amatir, sementara Galatama sudah semi-profesional.

Galatama merupakan produk PSSI yang legendaris, karena kompetisi itu menjadi pelopor kompetisi semi-profesional dan profesional di Asia. Bahkan, bukan rahasia lagi apabila kompetisi sepakbola profesional Jepang, J-League, adalah hasil belajar dari Galatama.

Salah satu perbedaan yang paling mencolok dari Galatama dibandingkan dengan kompetisi Perserikatan adalah keberadaan pemain asing. Namun hal tersebut hanya bertahan selama tiga tahun karena pada 1982, Galatama melarang klub-klubnya memakai pemain asing.

Namun, lambat laun, pamor Galatama makin tergerus karena banyaknya kerusuhan antarsuporter dan isu suap. Klub-klub akhirnya semakin banyak yang kolaps karena kekurangan dana, hal itu berbanding terbalik dengan klub-klub di Perserikatan yang ditopang oleh APBD. Melihat hal tersebut, PSSI akhirnya memutuskan untuk melebur Galatama dan Perserikatan menjadi Liga Indonesia (Ligina) pada tahun 1994 untuk menyelesaikan problem yang dimiliki klub, sekaligus untuk meningkatkan mutu kompetisi di Indonesia.

LIGINA

Liga Indonesia (Ligina) terbentuk pada tahun 1994, ketika ketua umum Azwar Anas memutuskan peleburan kompetisi Perserikatan dan Galatama. Fanatisme dari kompetisi amatir Perserikatan dan profesionalisme dari Galatama diharapkan dapat melebur dan membuat kompetisi sepakbola nasional berubah menjadi lebih baik.

Dalam awal penyelenggaraannya, Ligina menerapkan konsep dua wilayah untuk kasta tertinggi dengan nama Divisi Utama. Empat teratas dari masing-masing wilayah akan dipertemukan dalam babak delapan besar untuk menentukan juara liga.

Sistem tersebut bertahan hingga 14 tahun sebelum konsep kasta tertinggi sepakbola Indonesia kembali diubah pada 2008. Divisi Utama yang sebelumnya berada di kasta paling tinggi diturunkan menjadi kasta kedua, sementara kasta tertinggi dinamakan Indonesia Super League (ISL).

ISL akhirnya tetap menjadi kasta tertinggi sepakbola tanah air hingga sampai saat ini, meskipun sempat terjadi konflik yang diawali dari munculnya liga tandingan bernama Liga Primer Indonesia (LPI).

PSSI GARUDA I & II

Demi mempersiapkan diri untuk menghadapi Piala Asia, PSSI di bawah kepemimpinan Kardono mencoba melakukan hal yang "nyeleneh" dengan membentuk program PSSI Garuda pada tahun 1984. Dalam program itu, PSSI membentuk sebuah tim, yang disebut tim Garuda dan dilatih juru taktik asal Brasil, Joao Barbatana, untuk dilatih secara militer di Pusat Pendidikan Polisi Militer ABRI (Pusdik POM ABRI), Cimahi.

Pendidikan di Pusdik POM ABRI tersebut dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kedisiplinan para pemain. Karena itu, sebagian besar waktu mereka dihabiskan dengan memakai seragam hijau, sepatu bot dan rambut cepak layaknya tentara. Program tersebut dijalankan selama satu bulan penuh.

Namun, sayang program tersebut tidak mendapatkan uji coba yang maksimal karena banyak agenda uji coba baik di luar negeri ataupun di dalam negeri batal digelar. Hasilnya, Indonesia gagal lolos dari kualifikasi Piala Asia '84, setelah hanya mampu berada di posisi ketiga klasemen grup 1, di bawah Iran dan Suriah.

PSSI tampaknya belajar dari kegagalan program Garuda I, dan pada 1988 PSSI memutuskan untuk membentuk program PSSI Garuda II dengan cara yang berbeda. Apabila sebelumnya para pemain digembleng secara militer selama sebulan penuh, kali ini para pemain akan mendapatkan gojlokan teknik dasar sepakbola selama satu tahun.

Target yang dicanangkan untuk PSSI Garuda II adalah lolos dari kualifikasi Olimpiade 1992 di Barcelona. Untuk mempermulus itu, PSSI bahkan mendatangkan pelatih asal Cekoslowakia, yaitu Josef Masopust. Namun, tim Garuda II juga gagal dalam menggapai targetnya untuk berpartisipasi dalam Olimpiade 1992 di Barcelona.


PSSI PRIMAVERA & BARETTI

PSSI mencoba terobosan baru dalam menjalankan program pelatnas jangka panjang, yaitu dengan menelurkan program PSSI Primavera di tahun 1993-94. Program tersebut hampir mirip dengan program PSSI Garuda, namun bedanya kali ini para pemain dikirim ke Italia dan mengikuti kompetisi U-19 di sana.

Tujuan awal PSSI Primavera adalah untuk membentuk tim yang akan diturunkan dalam laga kualifikasi Olimpiade 1996. Target mereka adalah untuk lolos dari babak kualifikasi, namun sayang target tersebut tidak tercapai.

Indonesia harus mengakui keunggulan Korea Selatan yang mengoleksi poin sempurna (12) di grup 3. Sementara Indonesia terpaksa puas duduk di posisi kedua dan gagal lolos meski mengoleksi enam angka yang didapat dari membungkam Hong Kong dua kali. Korsel akhirnya melaju sebagai juara kualifikasi Asia saat itu.

Program Primavera tidak sepenuhnya gagal, dari program tersebut lahir pemain-pemain besar Indonesia seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, Kurnia Sandy, Anang Ma'ruf dan Sugiantoro.

Tiga pemain PSSI Primavera, yaitu Kurniawan, Kurnia Sandy dan Bima Sakti, berhasil masuk ke Sampdoria Primavera. Bahkan, Kurnia Sandy berhasil menembus tim utama dengan menjadi kiper ke-empat selama satu musim di sana.

Setahun kemudian (1995/96), PSSI membuat program yang mirip yaitu PSSI Baretti, untuk terlibat di kompetisi U-16 Italia. Meskipun tidak 'sesukses' PSSI Primavera, program itu juga menelurkan pemain-pemain besar Indonesia seperti Uston Nawawi, Elie Aiboy, Charis Yulianto, Nova Arianto dan Imran Nahumarury.

Program ini terjadi ketika PSSI di bawah ketua umum Azwar Anas.


SAD INDONESIA (DEPORTIVO INDONESIA)

DI bawah Nurdin Halid, PSSI mencoba untuk melakukan inovasi pada program Primavera dan Baretti yang dilakukan pada pertengahan 1990-an. Pada tahun 2008, 25 pemain timnas Indonesia U-16 untuk mengikuti kompetisi taruna Quinta Division di Uruguay dengan membentuk sebuah tim bernama Sociedad Anonima Deportiva (SAD) Indonesia. Sekarang tim ini disebut dengan nama Deportivo Indonesia. Tidak seperti program sebelumnya, yang bertujuan membentuk sebuah tim, kali ini target program ini adalah untuk membentuk individu yang berkualitas.

Para pemain muda tersebut akan digembleng satu musim penuh di Uruguay, dan terkait pendidikan, Badan Tim Nasional berjanji akan mendaftarkan mereka ke Sekolah Ragunan dan pendidikan akademik dilakukan dengan sistem modul.

Semuanya telah direncanakan dengan matang di program ini. Para pemain muda tersebut dididik untuk menjadi pesepakbola yang tangguh dengan tinggal, belajar, berlatih dan bermain di Uruguay.

Kekuatan tim SAD Indonesia diuji saat mereka diturunkan pada Pra Piala Asia U-19 yang digelar di Bandung. Mereka bersaing dengan Australia, Singapura, Cina Taipei, dan Hong Kong. Sayang mereka akhirnya gagal lolos setelah hanya mampu menempati posisi ketiga.

Program ini juga dinilai cukup sukses menelurkan pemain muda masa depan Indonesia. Beberapa pemain jebolan SAD Indonesia berhasil ditarik oleh beberapa klub Eropa. Seperti Syamsir Alam yang direkrut DC United, dan Alfin Tuasalamony, Yericho Christiantoko, dan Yandi Sofyan Munawar yang bergabung dengan CS Vise (dua nama terakhir telah hengkang ke Arema Indonesia).

NATURALISASI

Apabila sebelumnya, PSSI menelurkan program yang berjangka panjang, akhir-akhir ini kebijakan jangka pendek demi meningkatkan kualitas tim nasional Indonesia kerap dilakukan, yaitu program naturalisasi.

Pemain pertama yang dinaturalisasi oleh PSSI adalah striker veteran asal Uruguay yang sudah sembilan tahun berada di Indonesia, yaitu Cristian Gonzales, dan kemudian diikuti dengan Kim Jeffrey Kurniawan. Kehadiran Gonzales di Piala AFF 2010 bersama timnas sangat bermanfaat, ia menyumbangkan tiga gol di ajang tersebut, namun sayang Indonesia gagal meraih juara setelah takluk dari Malaysia.

Setelah itu, PSSI Nurdin Halid tampaknya ketagihan melanjutkan program naturalisasi, sehingga nama-nama pemain naturalisasi emakin banyak, seperti Johny van Beukering, Tony Cussel, Raphael Maitimo, dan Stefano Lilipaly.

Setelah beberapa pemain keturunan di luar negeri mendapatkan hak untuk membela timnas, beberapa bulan kemudian, giliran pemain yang aktif berkarir di Indonesia mendapatkan kesempatannya yaitu Victor Igbonefo dan juga Greg Nwokolo.

Yang paling anyar, tentu saja striker yang kini membela Persib Bandung, Sergio van Dijk. Mantan topskor A-League tersebut telah melakoni debutnya di timnas, bersama dengan Greg, ketika menghadapi Arab Saudi dalam laga lanjutan kualifikasi Piala Asia 2015, sayang Indonesia takluk dengan skor 2-1 di laga itu.

Berita Terkait

Comment